Monthly Archives: Juli 2016

Penegakan Hukum Dan Kode Etik

Standar

BAB I

PENDAHLUAN

  1. Latar Belakang

Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum dan dirumuskan dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik. Tujuan utama kode etik profesi adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.

Kode  etik  profesi  merupakan  norma yang  di  tetapkan  dan  diterima  oleh sekelompok  profesi  yang  mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana  membuat  dan  sekaligus menjamin  mutu  profesi  itu  di  mata masyarakat.  Fokus  perhatian  ditujukan pada kode etik polisi, kode etik jaksa, kode etik  hakim,  kode  etik  advokad,  dan  kode etik notaris. Ini semua merupakan kode etik profesi  hukum  yang  disebut  juga Profesional Legal Ethic.

Akhir – akhir ini jika kita lihat dimedia maka peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh pihak profesional semakin meningkat, contoh saja kasus korupsi. Sehingga Tujuan  ditulisnya makalah  ini  adalah untuk  mengetahui  bagaimana  peranan etika  profesi  hukum  dalam  upaya pemberantasan  kejahatan,  dan  bagaimana efektivitas  etika  profesi  hukum  dalam menanggulangi  kejahatan  yang  timbul dilingkungan  professional.

  1. Rumusan Masalah

Melihat dari latar belakang masalah diatas maka penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Istilah pengertian dalam Penegakan Hukum
  2. Maksud dan tujuan Kode Etik
  3. Hubungan kode etik pada penegakan hukum
  4. Peran kode etik dalam penegakan hokum
  5. Lembaga- lembaga penegak hukum

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagai mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran cara memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya dapat ditegakkan kembali perlu dengan tindakan hukum. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:

  1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan).
  2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian atau denda).
  3. Penyisihan atau pengecualian (pencabutan hak-hak tertentu).
  4. Pengenaan sanksi badan (pidana, penjara, atau pidana mati);

Dalam pelaksanaannya tugas penegakan hukum, penegakan hukum wajib mentaati norma-norma yang telah ditetapkan. Prof. Abdulkadir Muhammad (1977) menggunakan empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu: kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran.

  1. Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut agar dalam penegakan hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia yang memiliki keluhuran pribadi. Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan, artrinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai mahluk sosial. Martabat manusia yang terkandung didalam hak-hak manusia menjadi prinsip dasar hukum, yaitu dasar kemanusiaan yang adil dan beradab[1].

Manusia menuntut kodratnya baik ataupun buruk, namun kondisi hidup yang  kadangkala memaksa manusia  berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Untuk mempertahankan hidup, maka dia mencuri hak orang lain walaupun dia sadar bahwa mencuri hak orang lain itu dilarang oleh hukum. Menurut pertimbangannya, daripada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang harus dipertahankan.

  1. Keadilan

Menurut Thomas Aquinas, keadilan adalah kebiasaan untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya berdasarkan kebebasan kehendak. Kebebasan kehendak itu ada pada setiap manusia. Hak dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat. Adanya hak mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap manusia melekat pada kodrat manusia itu sendiri,  bukan semata-mata berasal dari luar diri manusia . Jadi, adanya hak itu dapat diketahui dari dua sisi. Pada satu sisi hak itu melekat pada diri karena kodrat manusia, sedangkan pada sisi lain hak itu merupakan akibat hubungan dengan pihak lain melalui kontrak, keputusan hukum. Hak karena kodrat bersifat mutlak, sedangkan hak karena kontrak, keputusan hukum bersifat relative.

Hak pada sisi pertama sering disebut hak kodrat yang berasal dari hukum kodrat (ius naturale). Hak pada sisi lainnya disebut hak kontrak yang berasal dari hukum positif. Thomas aquinus menyatakan bahwa segala sesuatu yang bertentengan dengan hak kodrat selalu dianggap tidak adil.  Manusia mempunyai hak kodrat yang berasal dari tuhan, tetapi juga mempunyai kewajiban kodrat terhadap orang lain. Apabila hak kodrat itu dijelmakan kepada hukum positif, maka segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum positif selalu dianggap tidak adil.

Keadilan merupakan salah satu bentuk kebaikan yang menuntun manusia dalam berhubungan sesama  manusia. Seseorang disebut adil bila mengakui orang lain sebagai orang yang mempunyai hak yang seharusnya dipertahankan atau diperolehnya. Keadilan juga dapat dalam bentuk kewajiban, sebagai hutang yang harus dibayar kepada orang lain. Sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi sebagai pembayaran kembali untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi mengalihkan keadilan yang dirusak oleh pelaku kejahatan. John Kaplan seperti dikutip oleh muladi dan barda nawawi (1984) menyatakan, pemidanaan mengandung arti bahwa hutang penjahat telah dibayar  kembali[2].

 

  1. Kepatutan (equity)

Pada dasarnya kepatutan merupakan suatu koreksi terhadap keadilan legal. Keadilan yang legal adalah keadilan yang menumbuhkan hubungan  antara individu dan masyarakat atau Negara. Yang diperlukan oleh manusia adalah koreksi atau perhatian khusus kepada dirinya. Kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadaan manusia individual dalam penerapan keadilan, kepatutan merupakan kebaikan yang menggerakan manusia untuk berbuat secara rasional dan menggunakan keadilan. Kepatutan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama  dalam situasi dan kondisi khusus (notohamidjojo. 1971). Dengan menggunakan kepatutan, hubungan yang meruncing antara manusia dikembalikan kepada proporsi yang sewajarnya.

  1. Kejujuran

Penegak hukum harus jujur dalam menegakan hukum atau melayani pencari keadilan dan menjauhkan diri dari perbuatan curang. Kejujuran berkaitan dengan kebenaaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dn ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh  dilakukan. Kejujuran mengarahkan penegakan hukum agar bertindak benar, adil, dan patut. Kejujuran adalah kendali untuk  berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut hati nurani. Benar menurut akal diterima oleh hati nurani.

Penegak hukum yang jujur melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, dan itu menurut pertimbangannya adalah baik. Kejujuran itu dibuktikan  oleh:

  1. Perbuatan rasional (benar);
  2. Pelayanan terhadap pencari keadilan manusiawi (beradab);
  3. Bicaranya lemah lembut dan ramah (sopan);
  4. Wanita diperlakukan secara wajar dan sopan (senonoh);
  5. Pertimbangan berdasarkan hukum dan fakta (patut);

 

 

  1. Kode Etik

Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.  Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti.  Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis.  Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik  itu dibuat oleh profesi sendiri.

Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu  dalam  merumuskan,  tetapi  pembuatan  kode  etik  itu  sendiri  harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan.  Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik  itu  sendiri  harus  menjadi  hasil  Self Regulation  (pengaturan  diri)  dari profesi[3].

Sanksi pelanggaran kode etik :

  1. Sanksi moral
  2. Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Kasus-kasus  pelanggaran  kode  etik  akan  ditindak  dan  dinilai  oleh  suatu  dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu.Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan  professional.

Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi.  Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.  Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional.

Tujuan kode etik profesi :

  1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
  2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
  3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
  4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
  5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
  6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
  8. Menentukan baku standarnya sendiri.

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :

  1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
  2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
  3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi.  Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.

 

  1. Hubungan Kode Etik Pada Profesi Hukum

Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam pemerintahan suatu Negara. Kalau diadakan penelusuran sejarah, maka akan dapat dijumpai bahwa kode etik telah dimulai oleh Aristoteles, hal ini dapat dibuktikan dengan bukunya yang berjudul Etica Nicomacheia. Dalam buku ini Aristoteles menguraikan bagaimana tata pergaulan, dan penghargaan seseorang manusia kepada manusia lainnya, yang tidak didasarkan kepada egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan atas hal-hal yang  bersifat altruistis, yaitu memperhatikan orang lain dengan demikian juga halnya kehidupan  bermasyarakat, untuk hal ini Aristoteles mengistilahkannya manusia itu zoon polition[4].

Kode Etik dimaksukkan dalam disiplin pendidikan hukum disebabkan belakangan ini terlihat adanya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak hukum, yang mana hal ini tentunya merugikan bagi pembangunan masyarakat indonesia.

Profesi hukum  dewasa ini memiliki daya tarik tersendiri, akibat terjadinya suatu  paradigma baru dalam dunia hukum. sehingga menyebabkan konsorsium ilmu hukum memandang perlu memiliki etika dan moral oleh setiap-setiap profesi hukum, apalagi isu pelanggaran hak asasi manusia semakin marak diperbincangkan dan menjadi wacana publik yang sangat menarik.[5] Dengan adanya kode etik  profesi hukum diharapkan lahirlah nantinya sarjana-sarjana hukum yang profesional dan beretika. pengembangan profesi hukum haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan khususnya dalam bidang itu, itu oleh karena itu setiap  individu harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian dan  berkeilmuan.

Hubungan kode etik dengan profesi hukum, bahwa kode etik adalah sebagai sikap hidup yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai Pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan  pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah didalam melaksanakan profesi hukum kita harus mengutamakan etika dalam setiap berhubungan dengan masyarakat khususnya warga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.

Selain itu dalam pelaksanaan tugas profesi hukum selain bersifat kepercayaan yang  berupa habl min-annas (hubungan horizontal) juga harus disandarkan kepada habl min Allah (hubungan vertikal), yang mana habl bin Allah itu terwujud dengan cinta kasih, perwujudan cinta kasih kepada-Nya tentunya kita harus melaksanakan sepenuhnya atau mengabdi kepada perintah- Nya antara lain cinya kasih kepada-Nya itu direalisasikan dengan cinta kasih antar sesama manusia, dengan menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka otomatis akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas (yang pada hakikatnya merupakan amanah) profesi hukum. Dan dengan itu profesi hukum memperoleh landasan keagamaan, maka ia (pengemban profesi) akan melihat  profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaan kepada Allah swt dengan tindakan nyata.

Menyangkut etika profesi hukum ini di ungkapkan bahwa (Arif sidhrta,1992:107) : etika  profesi adalah sikap etis sebagai bagian intergral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilaku dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Disamping itu, pengemban profesi sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntunan etika  profesi. Sedangkan prilaku dalam mengemban profesi dapat membawa akibat (negatif) yang jauh terhadap klien atau pasien. Kenyataan yang dikemukakan tadi menunjukan bahwa kalangan  pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman objektif yang kongkret bagi  prilaku profesinya. Karena itu dari lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkanlah seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi.

Perangkat kaidah itulah yang disebut kode etik profesi (bisa di singkat: kode etik), yang dapat tertulis maupun tidak tertulis yang diterapkan secara formal oleh organisasi profesi yang  bersangkutan, dan di lain pihak untuk melindungi klien atau pasien (warga masyarakat) dari  penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas profesional[6].

Dari uraian diatas terlihat betapa eratnya hubungan antara kode etik dengan profesi hukum, sebab dengan etika inilah para profesional hukum dapat melaksanakan tugas (pengabdian)  profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya akan melahirkan keadilan ditengah-tengah masyarakat. Ketertiban dan kedamaian yang  berkeadilan adalah merupakan kebutuhan pokok manusia, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, sebab dengan situasi ketertiban dan kedamaian yang  berkeadilanlah, manusia dapat melaksanakn aktivitas pemenuhan hidupnya, dan tentunya dalam situasi demikian pulalah proses pembangunan dapat berjalan sebagaimana diharapakan.

Jabatan maupun yang di embannya, seorang pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manuisa.

  1. Peran Kode Etik Dalam Penegakan Hukum

Berpijak kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah law enforcement yaitu[7]:

  1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
  2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
  3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
  4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
  5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Saat ini yang menjadi sorotan yang sangat-sangat menarik perhatian setiap orang adalah faktor penegak hukum. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.

Seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terjemahkan dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sedangkan profesi adalah  bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam profesi hukum.

Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup,  berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap mayarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi seksama. Dan oleh karena itulah dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut :

  1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
  2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
  3. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
  4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Sinergiditas antara etika profesi dan kode etik adalah seperti kita ambil dari Yap Thiam Hiem, dalam bukunya “Masalah Pelanggaran Kode Etik Profesi Dalam Penegakan Keadilan dan Hukum”, maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada  pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.”Jangan Ada Celah..

Persoalan yang menyeruak dan menjangkiti hukum di Indonesia saat ini lebih disebabkan karena terjadinya degradasi moral dalam tubuh aparatur penegak hukum kita. Dalam benak  penulis, momentum saat ini dapat menjadi langkah awal pemerintah bersama jajaran institusi  penegak hukum, akademisi hukum dan pihak lain terkait penegakan hukum, untuk merekonstruksi kode etik profesi hukum dimana substansinya harus jauh lebih accountable (tanggung jawab). Lebih tegas menutup celah-celah penyelewengan hukum, sangat jelas dan transparan serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pembenahan etika aparatur penegak hukum seharusnya menjadi salah satu agenda pemerintah dalam mereformasi institusi penegak hukum.

Jadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah untuk selalu mengacu pada tujuan hukum yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia. Jika boleh meminjam risalahnya Umar bin Khattab kepada Musa Al-AsyÆari, “Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu, dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu.[8]

 

  1. Lembaga- lembaga penegak hukum

 

  • Kepolisian

Tugas utamanya adalah menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegkkan hukum.

Sebagai aparat hukum polisi dapat menjalakan fungsinya sebagai penyelidik dan penyidik. Polisi juga berwenang untuk menangkap orang yang diduga melakukan tindak kejahatan.

  • Kejaksaan

Kejaksaan adalah alat negara sebagai penegak hukum yang juga berperan sebagai penuntut umum dalam perkara pidana. Jaksa adalah alat yang mewakili rakyat untuk menuntut seseorang yang melanggar hukum pidana maka sisebut penuntut umum yang mewakili umum. kejaksaan merupakan aparat Negara yang bertugas :

  1. Untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran tindak pidana di pengadilan. Di sini jaksa melakukan penuntutan atas nama korban dan masyarakat yang merasa dirugikan
  2. Sebagai pelaksana (eksekutor) atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Aparat kejaksaan akan mempelajari BAP yang diserahkan oleh kepolisian. Apabila telah lengkap maka kejaksaan akan menerbikan P21 yang artinya siap dibawa ke pengadilan untuk disidangkan.

Tugas dan wewenang jaksa di bidang pidana antara lain:

  1. melakukan penuntutan
  2. melaksanakan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
  3. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasar UU

 

  • kehakiman

Tugas utama seorang hakim adalah memeriksa, memutus suatu tindak pidana atau perdata. Untuk itu seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus lepas dari segala pengaruh agar keadilan benar-benar bisa ditegakkan. Di tingkat pusat kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK. Jika MA merupakan lembaga peradilan umum tertinggi, maka MK merupakan lembaga peradilan khusus karena tugasnya :

  • terbatas kepada hak uji terhadap UU ke atas ,
  • sengketa kewenangan antar lembaga Negara,
  • pembubaran partai politik
  • memutuskan presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar hukuman tidak mengurusi masalah pidana.

 

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Lembaga baru yang dibentuk karena tuntutan dan amanat reformasi agar Negara bersih dari praktek KKN. Dibentuk berdasarkan UU no 30 tahun 2002. Tugas utamanya adalah menyelidiki dan memeriksa para pelaku korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Negara. KPK ini dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada presiden.[9]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagai mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya dapat ditegakkan kembali. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:

  1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan).
  2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian atau denda).
  3. Penyisihan atau pengecualian (pencabutan hak-hak tertentu).
  4. Pengenaan sanksi badan (pidana, penjara, atau pidana mati);

Kode etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.  Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti.  Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis.  Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik  itu dibuat oleh profesi sendiri.

Hubungan kode etik dengan profesi hukum, bahwa kode etik adalah sebagai sikap hidup yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai Pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan  pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah didalam melaksanakan profesi hukum kita harus mengutamakan etika dalam setiap berhubungan dengan masyarakat khususnya warga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.

Menjadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah untuk selalu mengacu pada tujuan hukum yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia. Jika boleh meminjam risalahnya Umar bin Khattab kepada Musa Al-AsyÆari, “Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu, dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,        1997.

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi      Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003.

Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :        Rajawali Pers, 2008.

Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar      Grafika, Jakarta, 2006.

Suhrawardi K. Lubis, S.H. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002.

https://www.academia.edu/5765207/ Pengaruh_Etika_dalam_Penegakan_Hukum

 

[1] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

[2] Suhrawardi K. Lubis, S.H. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002.

 

[3] Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006.

 

[4] Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003, hlm 8

[5] Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006, hlm 19

[6] Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006.

 

[7] Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hlm. 21

[8] https://www.academia.edu/5765207/ Pengaruh_Etika_dalam_Penegakan_Hukum. Dikutip pada tanggal 18 April 2016 jam: 16:31 WIB.

[9] https://gmnite.blogspot.co.id/2014/08/peran-lembaga-lembaga-penegak-hukum-di.html. Dikutip pada tanggal 22 Mei 2016 jam 22.27 WIBpenegakan hukum dan kode etik

SYIRKAH

Standar

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Dalam bertansaksi kepada sesama manusia Islam memberikan kebebasan yang seluas- luasnya asalkan tidak mengandung sifat maysir, ghoror, dan riba. Untuk transaksinya sendiri Islam telah memiliki beberapa akad yang diperbolehkan untuk mengaplikasikannya, salah satu transaksinya adalah akad Syirkah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sendiri telah membahas tentang akad Syirkah pada buku ke dua tentang bab akad. Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Sehingga dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang akad syirkah guna untuk  memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Karena pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atau barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.

Pada makalah kali ini penulis akad membahas syirkah yang terdapat pada KHES, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam KHES mencakup syirkah  amwal,  syirkah  abdan, dan syirkah wujuh.

 

  1. Rumusan Masalah

Melihat dari latar belakang yang telah disampaikan diatas maka penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

  • Apa Pengertian syirkah?
  • Bagaimana hukum tentang syirkah?
  • Sebutkan syarat dan rukun Syirkah!
  • Sebutkan dan jelaskan macam- macam syirkah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah!
  • Bagaimana cara mengakhiri Syirkah?
  • Bagaimana Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern?

 

  1. Tujuan Penulisan

Pada makalah kali ini penulis bertujuan agar pembaca dapat mengetahui dan mengenal lebih :

  • Pengertian dari syirkah
  • Landasan hukum tentang syirkah
  • Syarat dan Rukun Syirkah
  • Macam- macam syirkah yang dibahas di Kompilasi hukum Ekonomi Syariah
  • Cara mengakhiri Syirkah?
  • Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyadun. Maksud pencampuran disini ialah seseprang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.

Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:

  1. Sayyid Sabiq,

Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.

  1. Muhammad al-Syarbini al-Khatib

Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).

  1. Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira

Penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.

  1. Idris Ahmad

Syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji dan akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

 

Setelah diketahui definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama.[1] Pengertian syirkah diatas hampir sama dengan pengertian syirkah di dalam KHES pada bab 2 tentang akad pasal 20 yaitu  Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.[2]

 

  1. Hukum Syirkah

Syirkah merupakan salah satu produk transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. Landasan hukum syirkah sendiri telah tertera di dalam Al-Quran, Al- Hadist, dan juga ijma’.

  • Dalil Al- Quran

Dalam Q.S. Shad ayat 24

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ ۗوَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَا ب

Artinya:

“Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”.[3]

 

 

 

 

 

  • Dalil Al- Hadist

حَدَّ ثَنَ مُحَمَّدُ بن سُلُيمان المَصِيْصِي عن مُحَمَّدالزَبْرِقانَ عن ا بي حَيَّانَ التيْمِ، عن ابيْهِ، عن ابي هُرَيْرَة َرَفَعَهُ قال : انَا ثَلاِث ُالشَريْكيْنِ مَا لمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإذ خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا[4]

Artinya : “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila seseorang menghianatinya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya)

  • Ijma’

Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[5]

 

  1. Syarat dan Rukun Syirkah

Rukun syirkah  diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah  ada dua, yaitu ijab  dan qabul  atau bahasa lainya adalah akad. Akad yang  menentukan  adanya  syirkah. Syarat-syarat  yang  berhubungan  dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut ini :

  1. Sesuatu yang  bertalian  dengan  semua  bentuk  syirkah  baik  dengan  harta maupun  dengan  yang    Dalam  hal  ini  terdapat  dua  syarat  yaitu  a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan  harus  jelas  dan  dapat  diketahui  dua  pihak,  misalnya  setengah, sepertiga dan yang lainnya.
  2. Sesuatu yang  bertalian  dengan  syirkah  mal  (harta).  Dalam  hal  ini  terdapat dua perkara yang harus dipenuhi a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah  adalah  dari  alat  pembayaran  (nuqud)  seperti  Riyal,  dan  Rupiah  b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad  syirkah  dilakukan baik jumlahnya sama maupun berbeda.
  3. Sesuatu yang  bertalian  dengan  syirkah  mufawadhah  bahwa  dalam mufawadhah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus  sama  b)  bagi  yang  bersyirkah  ahli  untuk  kafalah  c)  bagi  yang dijadikan objek akad disyaratkan  syirkah  umum, yakni pada semua macam jual beli atas perdagangan.
  4. Adapun syarat-syarat  yang  bertalian  dengan  syirkah  inan  sama  dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.

 

Menurut  ulama  mazhab  Malikiyah  syarat-syarat  bertalian  yang bertalian  dengan orang  yang  melakukan  akad  ialah  merdeka,  baligh  dan  pintar.  Syafi’iyah berpendapat bahwa  syirkah  yang sah hukumnya hanyalah  syirkah  inan  sedangkan syirkah yang lainnya batal.

Dijelaskan  pula  oleh  Abd  al-Rahman  al-Jaziri  bahwa  rukun  syirkah  adalah  dua orang  yang  berserikat,  subyek  dan  objek  akad  syirkah  baik  harta  maupun  kerja. Syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini :

  1. Mengeluarkan kata-kata  yang  menunjukkan  izin  masing-masing  anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
  2. Anggota serikat itu saling mempercayai sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
  3. Mencampurkan harta  sehingga  tidak  dapat  dibedakan  hak  masing-masing baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.[6]

 

  1. Macam- Macam Syirkah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Syirkah  secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu  syirkah  hak milik (syirkah al-amlak)  dan  syirkah  transaksi  (syirkah  al-uqud).  Syirkah  hak  milik  adalah syirkah  terhadap zat barang, seperti  syirkah  dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh  dua  orang  atau  yang  menjadi  pembelian  mereka  atau  hibah  bagi  mereka. Adapun  syirkah  transaksi  adalah  syirkah  yang  objeknya  adalah  pengembangan hak  milik. Syirkah  transaksi  bisa  diklasifikasikan  menjadi  lima  macam  yaitu ‘inan, ‘abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.[7]

Dalam KHES pasal 134 dan 135 menyebutkan bahwa syirkah dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah wujuh. Sedangkan Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah ‘inan, syirkah mufawwadhah, dan syirkah mudharabah.

Berikut ini merupakan penjelasan tentang syirkah- syirkah tersebut diatas :

  1. Syirkah ‘Inan

Syirkah  ’inân  adalah persekutuan modal antara dua  pihak  untuk menjalankan  usaha.  Apabila usahanya memperoleh keuntungan, maka akan dibagi  diantara  keduanya.  Dalam  hal  ini  tidak menyaratkan  adanya  kesamaan  modal, tasyarruf  dan  pembagian  keuntungan.  Modal salah  satu  pihak  boleh  lebih  besar  dari  pihak lainnya,  begitupula  dalam  hal  tanggung jawabnya.  Kebolehan kesamaan  pembagian keuntungan  seperti  halnya  kebolehan perbedaannya  berdasarkan  atas  kesepakatan diantara  mereka. Menurut  Zuhaily,  Syirkah ’inân  hukumnya  boleh  secara  ijma’.  Adapun perbedaanya  terdapat  pada  syarat-syaratnya sebagaimana pada penamaannya.[8]

  1. Syirkah Abdan

Syirkah  ‘abdan  disebut  juga  dengan  syirkah  a’mal  atau syirkah  sana’iSyirkah ‘abdan  adalah  syirkah  antara dua orang atau lebih dengan masing-masing pihak hanya menyerahkan kontribusi berupa tenaga atau keahlian tanpa investasi modal. Umumnya  syirkah  seperti  ini  terdapat  pada  pekerjaan  yang  membutuhkan keahlian  khusus  seperti  dokter  dan  konsultan.  Menurut  Imam  mazhab  Hanafi, Maliki dan Hanbali keahlian yang disertakan tidak harus sama dalam membentuk suatu syirkah.

  1. Syirkah Mudhorobah

Syirkah mudharabah disebut juga dengan qiradh. Syirkah ini terbentuk antara dua belah  pihak  dimana  pihak  pertama  menyerahkan keseluruhan  modal  (shahib  almal) dan pihak kedua  adalah orang  yang mengelola modal tersebut (mudharib). Dalam  syirkah  ini  keuntuntungan  akan  dibagi  sesuai  proporsi  yang  telah disepakati oleh dua belah pihak. Sedangankan kerugian dalam  syirkah  ini akan di tanggung oleh pemodal selama itu bukan kelalaian dari pengelola. [9]

  1. Syirkah Wujuh

Syirkah  wujûh  yaitu  pembelian  yang dilakukan  oleh  dua  orang  atau  lebih  tanpa menggunakan  modal  melainkan menggantungkan  pada kepercayaan  dan keahliannya dalam berdagang. Syirkah  antara mereka ialah untuk mencari keuntungan yaitu syirkah  melalui  kesepakatan  tanpa profesi maupun  harta. Menurut  Hanafiyah  dan Hanabilah  syirkah  wujûh  hukumnya  boleh karena  mengerjakan  suatu  pekerjaan  boleh hukumnya.  Masing-masing  yang  terikat perjanjian  boleh  berbeda kepemilikan terhadap sesuatu yang ditransaksikan.  Adapun apabila  memperoleh  kuntungan,  maka  akan dibagi  diantara  keduanya  sesuai porsi (konstribusi)  masing-masing  dalam kepemilikan. Namun Syafi‟iyah danMalikiyah  membatalkannya,  karena  suatu syirkah sesungguhnya terkait dengan harta dan pekerjaan. Ibnu  Rusy  dalam  kitab Bidâyah Al-Mustahid:  Nihâyah  al-Muqtashid menyatakan bahwa  syirkah  wujûh  merupakan bentuk  jaminan  kepada  pelaku  usaha  yang tidak  memiliki modal.  Kemudian ia mengutip Imam  Malik  dan  Syafi‟I  yang  menyatakan bahwa  syirkah  harus terkait dengan harta dan pekerjaan. Tanpa adanya kedua unsur tersebut dalam  masalah  syirkah  dapat  menimbulkan gharâr.   Dikatakan  demikian  karena  masingmasing  pihak  saling  bertukar  pekerjaan  tanpa adanya  pembatasan  profesi  dan  kekhususan pekerjaan.[10]

  1. Syirkah Mufawadhoh

Syirkah mufawadhah adalah antara dua syirkah atau pengabungan antara beberapa syirkah  sekaligus.  Misalnya  seseorang  memberikan  modal  untuk  dua  orang insiyur dengan tujuan membangun rumah untuk di jual. Kedua orang insyur akan bekerja sekaligus akan mendapatkan rumah sebagai keuntungan seperti yang telah disepakati  di  awal.  Dalam  hal  ini  terdapat  pengabungan  antara  syirkah ‘inan,

‘abdan, mudharabah dan wujuh.[11]

 

  1. Cara Mengakhiri Syirkah

Menurut  Ahmad  Azhar  Basyir  terdapat  enam  penyebab  utama  berakhirnya syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu :

  • Syirkah akan  berakhir  apabila  terjadi  hal-hal  dimana  jika salah  satu  pihak  membatalkannya  meskipun  tanpa  persetujuan  pihak  yang lainnya. Hal ini disebabkan  syirkah  adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama  rela  dari  kedua  belah  pihak  yang  tidak  ada  kemestian  untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi.
  • Salah satu  pihak  kehilangan  kecakapan  untuk  bertasharruf  (keahlian mengelola harta) baik karena gila ataupun karena alasan lainnya.
  • Salah satu pihak meninggal dunia. Tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua  orang  yang  batal  hanyalah  yang  meninggal    Syirkah  berjalan  terus pada  anggota-anggota  yang  masih  hidup.  Apabila  ahli  waris  anggota  yang meninggal  menghendaki  turut  serta  dalam  syirkah  tersebut  maka  dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
  • Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan. Pengampuan yang dimaksud di sini baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah  tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
  • Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
  • Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama  Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi yang menanggung resiko adalah para pemilikya sendiri.  Apabila  harta  lenyap  setelah  terjadi  percampuran  yang  tidak  bisa dipisah-pisahkan lagi menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan menjadi  resiko bersama. Apabila  masih ada sisa harta  Syirkahmasih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[12]

 

  1. Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern

Syirkah  merupakan  praktik  muamalah masa  jahiliyah  yang  diadopsi  ke  dalam  Islam. Dalam  fiqh  Islam,  hukum  asal  dari  syirkah adalah  boleh. Landasan  syariat    kebolehan syirkah  terdapat  dalam  kitab  al-Qur‟an,  as Sunnah  dan  ijma’. Kebolehan  syirkah  dapat dikembangkan  ke  dalam  berbagai bentuk berdasarkan  ijtihad  sebagaimana  dicontohkan oleh  para  fuqaha.  Setelah  merujuk  para  nashnash  syara’, pendapat  para  fuqaha  dapat dijadikan  referensi  untuk  pengembangan konsep  syirkah  dan  implementasinya  dalam konteks modern.

Untuk  mengimplentasikan  bentuk-bentuk syirkah  diperlukan  langkah-langkah  tertentu, yaitu  pertama, pastikan apakah masing-masing peserta persekutuan  turut  menjalankan perusahaan  atau  tidak.  Apabila  mereka keseluruhan  turut  menjalankan  perusahaan secara  langsung,  maka  akad  yang  digunakan adalah  musyârakah.  Jika  akad  musyârakah (syirkah)  yang digunakan  untuk  mendirikan perusahaan,  maka  kemungkinan  modal  yang disertakan  masing-masing  pihak  dapat berwujud:  (a)  Apabila  modal  yang  disertakan masing-masing  pihak   berupa  uang  yang jumlahnya sama (Rp. X dan Rp. X) maka akad yang  digunakan  syirkah  mufawadhah;  (b) Apabila modal yang disertakan masing-masing pihak  berupa  uang  dengan  jumlah  yang berbeda  (Rp.  X  dan  Rp.  Y),  maka  akad  yang digunakan  syirkah  ’inan;  (c)  Apabila  modal yang  disertakan  masing-masing  pihak  berupa pekerjaan  (al-a’mal),  maka  akad  yang digunakan  syirkah  ’abdan;  (d)  Apabila masing-masing pihak menjalankan usaha tanpa modal  melainkan  sebatas  reputasi/ kepercayaan,  maka  akad  yang  digunakan adakah syirkah wujuh.

Kedua,  apabila  yang  menjalankan perusahaan  hanya  pihak  yang  menyertakan tenaga  (mudhârib),  sedangkan  pihak  yang menyertakan modal harta (shâhib al-mâl) tidak ikut  serta  dalam  menjalankan  perusahaan, maka  akad  yang  digunakan  adalah mudhârabah.  Dalam  hal  ini  perlu  dipahami, bahwa  meskipun   mudhârib  hanya menyertakan tenaga, namun kedudukan mereka tetap  sebagai  pemilik  perusahaan.  Dikatakan demikian,  karena  mudhârib  mendapatkan keuntungan  bukan  dari  upah  mengupah (‘ujrah), melainkan dari bagi hasil persekutuan. Sedangkan  pemberian  upah  (gaji),  hanya berlaku  bagi  pekerja  (karyawan)  yang mengikatkan  diri  dengan  perusahaan  melalui akad ijârah.

Untuk  membentuk  perusahaan persekutuan  berskala  kecil,  masing-masing syirkah  biasanya  digunakan  sendiri-sendiri secara  terpisah.  Sedangkan  untuk  mendirikan perusahaan  persekutuan  berskala  besar  yang membutuhkan  adanya  hubungan  perikatan hingga  pada  tingkat  kerumitan  tertentu,  maka masing-masing  syirkah  tersebut  boleh dipadukan  satu  dengan  yang  lainnya.  Karena dalam  setiap  syirkah  yang  sah  ketika  berdiri sendiri,  maka  sah  pula  ketika  digabungkan dengan  jenis  syirkah  lainnya. Bahkan  untuk menjalin hubungan perikatan antara perusahaan dengan  pihak  karyawan  (pekerja), dibolehkan menggunakan  akad  lain  di  luar  syirkah  itu sendiri.  Misalnya  setelah  para  pengusaha sepakat  membentuk  perusahaan  persekutuan, mereka  dibolehkan  untuk  mengangkat karyawan  sebagai  pekerja.  Dalam pengangkatan    karyawan, akad yang digunakan oleh  perusahaan  bukan  lagi  syirkah  dengan sistem  bagi  hasil,  melainkan  ijarâh  dengan sistem  gaji  (’ujrah).  Namun  perlu  diketahui, bahwa  antara  pemilik  perusahaan  yang  satu dengan  pemilik  perusahaan  yang  lainnuya, secara  hukum  tetap  dibolehkan  melakukan persekutuan (syirkah).[13]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan
  2. Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Sedangkan menurut KHES adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.
  3. Syirkah merupakan salah satu produk transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. dalil tentang syirkah terdapat dalam Dalam Q.S. Shad ayat 24 yang artinya “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan terdapat pula dalil dari hadist yang artinya : “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila seseorang menghianatinya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya)
  4. Rukun syirkah ada dua, yaitu ijab  dan qabul. Sedangkan syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini :
  5. Mengeluarkan kata-kata  yang  menunjukkan  izin  masing-masing  anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
  6. Anggota serikat itu saling mempercayai sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
  7. Mencampurkan harta  sehingga  tidak  dapat  dibedakan  hak  masing-masing baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
  8. Syirkah secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu  syirkah  hak milik (syirkah al-amlak)  dan  syirkah  transaksi  (syirkah  al-uqud). Syirkah  transaksi  bisa  diklasifikasikan  menjadi  lima  macam  yaitu ‘inan, ‘abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
  9. Terdapat enam  penyebab  utama  berakhirnya syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu :
  10. Syirkah akan  berakhir  apabila  terjadi  hal-hal  dimana  jika salah  satu  pihak  membatalkannya  meskipun  tanpa  persetujuan  pihak  yang lainnya.
  11. Salah satu  pihak  kehilangan  kecakapan  untuk  bertasharruf  (keahlian mengelola harta)
  12. Salah satu pihak meninggal dunia
  13. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan
  14. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
  15. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama
  16. Untuk mengimplentasikan  bentuk-bentuk syirkah  diperlukan  langkah-langkah  tertentu, yaitu  pertama, pastikan apakah masing-masing peserta persekutuan  turut  menjalankan perusahaan  atau  tidak, Kedua,  apabila  yang  menjalankan perusahaan  hanya  pihak  yang  menyertakan tenaga  (mudhârib),  sedangkan  pihak  yang menyertakan modal harta (shâhib al-mâl) tidak ikut  serta  dalam  menjalankan  perusahaan, maka  akad  yang  digunakan  adalah mudhârabah.

 

  1. Saran

Diharapkan kepada pembaca setelah membaca dan memahami makalah ini agar dapat mengamalkan ilmu yang didapat di makalah ini dan dapat mengamalkan produk syirkah yang berkonsep Islam ini di kalangan masyarakat dibandingkan memakai produk kerjasama Non Islami yang mengandung unsur riba, ghoror, dan maysir.

Selanjutnya karena penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari salah dan khilaf maka penulis masih sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman yang berpartisipasi dalam membaca makalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

الأزدي، سليمان بن الأشعت السجستاني، سنن أبي داود، المكتبة العصرية.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Semarang: Toha Putera, 1989;

Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan pertama.                    Jakarta, 2003.

Susamto, Burhanuddin, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah tentang Bentuk Syirkah            dan Aplikasinya dalam Perseroan Modern, De Jure, Jurnal Syariah Dan                     Hukum, Volume 6 No 1, Juni 2014.

Setiawan, Deni, kerja sama (syirkah) dalam ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi,                      Volume 21, No 3 September 2013.

Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010.

Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

 

 

 

[1] Hendi Suhendi H, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125

[2] Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan pertama. Jakarta, 2003, hlm 10

[3] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Semarang: Toha Putera, 1989;

[4] الأزدي، سليمان بن الأشعت السجستاني، سنن أبي داود، المكتبة العصرية، ص 256

[5] H. Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185

[6] Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi, Volume 21, No 3 September 2013, Hlm. 4

[7]Ibid, Hlm 5

[8] Burhanuddin Susamto, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah tentang Bentuk Syirkah dan Aplikasinya dalam Perseroan Modern, De Jure, Jurnal Syariah Dan Hukum, Volume 6 No 1, Juni 2014, Hlm 16

[9] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 5

[10] Opcit, Burhanuddin Susamto, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah…Hlm 16

[11] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 6

[12] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 7

[13]Opcit, Burhanuddin Susanto, Pendapat Al- Mazhahib Al- Arba’ah……Hlm 18