BAB I
Pendahuluan
-
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sejarah dari terbentuknya teori Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah berasal dari pemikiran Barat, bukan dari Islam. Istilah Hak Milik Intelektual (HAMI) atau yang dikenal dalam bahasa asing “geistiges Eigentum” (Jerman), atau intellectual property right (Inggris), atau intelectuele propriete (Perancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.[1]
Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah dilakukan sejak dahulu. Sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka sejarah hukum tentang perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir seluruh peraturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda). Undang- Undang Hak Cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang diamandemen oleh Undang- Undang No 6 Tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987. Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992 mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir Undang- Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarannya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.[2]
Meskipun negara telah memberikan sanksi yang lumayan keras terhadap pelanggaran HAKI, akan tetapi kenyataannya masih banyak pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Contoh mudahnya saja adalah sering kali masyarakat lebih memilih memotocopy buku pelajaran dibandingkan harus membeli buku aslinya. Kemudian kasus Plagiat Prof. Dr. Anak Agung Banyu Perwira, Dosen Universitas Parahyangan, Bandung.[3] Kasus plagiat ini juga sempat menjadi pemberiataan yang meluas dan sensional di media. Masalahnya, Profesor muda yang selama ini dikenal cemerlang dan menjadi bintang di Universitas Parahyangan Bandung, di duga telah beberapa kali melakukan plagiarisme, sebuah kejahatan akademik yang serius dan memalukan. Dalam tulisan Banyu yang dimuat The Jakarta Post, berjudul “RI As A New Middle Power”, ditemukan unsur plagiasi dari artikel Carl Ungerer, dengan Judul” The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy” yang diterbitkan dalam Austalian Journal of Politics and History, Volume 53, Number 4, Tahun 2007. Publikasi itu berlangsung dua tahun sebelum artikel Prof. Banyu dimuat di Harian The Jakarta Post, 12 November 2009.
Kasus diatas merupakan salah satu contoh bukti terjadinya pelanggaran HAKI yang ada di Indonesia yang dilakukan dari berbagai kelompok masyarakat baik akademisi maupun masyarakat awam. Padahal hukum tentang Hak cipta sendiri telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 beserta sanksi yang berlaku.
Dalam karya tulis ilmiah ini penulis mencoba untuk melihat konsep Hak atas kekayaan intelektual dari pandangan Islam, dengan terlebih dahulu mendeskripsikannya dari Hukum Positif di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta. Sehingga nantinya diharapkan konsep dalam Islam ini dapat menjadi solusi agar meminimalisir tingkat pelanggaran HAKI di Indonesia.
Alasan penulis memilih hukum Islam karena dominan masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Sehingga seharusnya setiap permasalahan yang berkaitan dengan muamalah maka diselesaikan dengan hukum Islam.
-
Rumusan Masalah
Dari gambaran latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti yaitu :
-
Bagaimana Hak Cipta dalam pandangan Islam?
-
Bagaimana ketentuan sanksi pelanggaran hak cipta dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan hukum Islam mengenai Hak Cipta?
BAB II
Landasan Teori
-
Hak Cipta menurut Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002
Yang dimaksud hak cipta sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHC No. 19 Tahun 2012 adalah : Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. [4]
Sedangkan yang dimaksud hak eksklusif yaitu hak yang semata- mata diperuntukan bagi pemeganynya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak, termasuk menerjemah, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertujukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun. [5]
Hak Cipta digolongkan sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan kepemilikannya. Adapun cara mengalihkan kepemilikannya yaitu melalui cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan sebab- sebab lain yang dibenarkan oleh perundang- undangan. [6]
Sedangkan untuk sanksinya sendiri Undang- Undang menjelaskan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[7]
-
Hak Atas Kekayaan Intelektual menurut Islam
Apabila menelusuri dalil- dalil yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Hadist, masalah hak cipta belum mempunyai dalil atau landasan nas yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan atas hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya.
Di antara para pemikir Islam, DR. Wahbah Zuhayli merupakan salah satu tokoh Islam yang membahas masalah hak cipta. DR. Wahbah Zuhayli menyebut istilah HAKI dengan istilah haqqul Ibdā‘ atau haqqul Ibtikār. Maknanya adalah hak milik permulaan yang tidak berbentuk nyata dan memiliki nilai keunggulan, keaslian dan permulaan. Hak ini didapat berdasarkan pemikiran dan karya manusia. Misalnya adalah hak cipta karya tulis, hak merek dagang, dan lain sebagainya. Hak ini bersifat maknawi yang dapat dirasakan manfaatnya.[8]
Hak Cipta ( Haq al- ibtikar) merupakan bagian dari macam- macam hak dalam Islam. Hak cipta juga bisa dipandang sebagai harta, karena itu perlu perlindungan hukum. Perlindungan ini diberikan, karena Islam sangat menghargai upaya seseorang dalam berkarya, seperti hasil karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat dan agama. Atau penemuan- penemuan lain yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia., dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Hak cipta dan karya cipta merupakan haq al- syakhshi (hak pribadi), oleh karena itu Islam melarang seseorang melanggarnya. Islam dengan tegas melarang seseorang memakan harta orang lain dengan secara tidak benar dan aniaya, kecuali atas persetujuan pemiliknya, atau dengan cara yang halal, seperti yang dikemukakan dalam nas:[9]
يأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم [10]
Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Islam sangat menekankan kepada setiap orang untuk tidak melanggar hak orang lain, merugikannya serta mengambil tanpa haknya. Hak perorang yang terdiri dari kehormatan, keselamatan jiwanya, serta hartanya sangat dilindungi dalam Islam. Pelanggaran terhadap hak- hak orang lain merupakan perbuatan dosa yang sangat serius. Nabi bersabda :
كل المسلم على المسلم حرام دمه و ماله و عرضه
Setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.
Hak Cipta merupakan hak milik pribadi bagi penciptanya, sekaligus merupakan harta yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak cipta, sama nilainya dengan perampasan terhadap harta benda lainnya. Perampasan hak orang lain secara aniaya tidak dibenarkan dalam Islam. [11]
Dalam khazanah hukum Islam, kejahatan terhadap harta benda adakalanya berupa sariqah (pencurian), intihab (perampasan), ikhtilas (pencopetan) dan ghasab (penguasaan secara tidak sah). Pelanggaran terhadap Hak Cipta bisa dikategorikan sebagai pencurian dalam hukum Islam. Konsep pencurian dalam Hukum Islam adalah mengambil harta orang lain secara tidak sah untuk dinikmati dan dikuasai tanpa sepengetahuan pemiliknya.[12
BAB III
Pembahasan
-
Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam Islam
Sebelum lahirnya pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dalam hukum nasional kita, sebenarnya Islam telah lebih dahulu mengakui adanya kekayaan intelektual setiap manusia. Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan, tidak ada agama selain Islam dan tidak ada kitab selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya dan memuji orang-orang yang menguasainya.[13] Suatu petunjuk yang sangat agung dari Alquran dalam hal ini adalah bahwa ia memberi penghargaan pada Ulu al-Albâb, kaum cendekiawan dan kaum intelektual, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu, “Berlapanglapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.s. al-Mujâdalah [58]: 11)
Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan ini diperkuat juga oleh Hadis Rasulullah Saw. yang artinya:Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya. (H.r. Abû Dâwûd)
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa hasil karya itu adalah hasil usaha manusia dan merupakan sumber manfaat baik bagi dirinya maupun bagiorang lain. Dengan memanfaatkan hasil kreativitas orang yang berilmu berartimelanjutkan amal salihnya yang tidak akan mungkin hilang bersama dengan kematiannya. Pemahaman terhadap intellectual property ini pada dasarnya merupakan pemahaman terhadap hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari hasil kerja intelektualitas manusia. Banyak karya yang dihasilkan dari intelektualitas manusia, baik melalui daya cipta, rasa, maupun karsanya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dengan serius, sebab karya manusia ini telah dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.[14]
Hasil dari sesuatu yang penuh dengan pengorbanan yang demikian sudah tentu menjadikan sebuah karya yang dihasilkannya memiliki nilai yang patut dihargai. Ditambah lagi dengan adanya manfaat yang dapat dinikmati, dan dari sudut ekonomi karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.[15]
Tumbuhnya konsepsi tentang kekayaan atas karya-karya intelektualitas manusia, akhirnya menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya akan melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan intelektual (ilmu pengetahuan), termasuk di dalamnya pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakikatnya pula, hak milik perseorangan ini selanjutnya dikelompokkkan menjadi hak milik perseorangan yang sifatnya tidak wujud atau imaterial.[16]
Pendapat jumhur ulama, ulama Hanafiyyah tidak mengakui eksistensi intellectual property, karena pemilikan terhadap hal ini sangatlah abstrak jika dibandingkan dengan pemilikan terhadap benda nyata, sehingga hak atas kekayaan intelektual tidak mungkin bisa disimpan dan apabila hak ini dimanfaatkan secara biasa maka sifatnya akan hilang sedikit demi sedikit.Sedangkan jumhur ulama sendiri mengakui eksistensi intellectual property karena yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang bernilai dan orang yang merusaknya wajib menanggung beban atau akibatnya. Konsep inilah yang sering dipakai dalam perundang-undangan modern. Sehingga golongan ini memandang segala sesuatu bisa diakui sebagai harta benda, tidak hanya dari segi dapatnya suatu benda itu bisa disimpan, tapi justru karena suatu manfaat yang melekat pada benda tersebut yang yang dituju. Mereka tidak mensyaratkan apakah manfaat itu dapat disimpan atau tidak, tetapi cukup menyimpan pokok atau sumbernya saja sudah cukup.[17]
Oleh karena itu, hasil karya seseorang yang merupakan pekerjaan intelektual manusia dapat disebut harta benda yang lazimnya dikenal dengan istilah hak atas kekayaan intelektual. Hak ini hanya dapat diperoleh manusia dengan bekerja keras dan dengan pengorbanan yang sangat besar, sehingga Islam patut untuk menghargainya dengan cara menjadikan hak atas kekayaan intelektual tersebut hanya melekat pada pemiliknya.[18]
Untuk memperkuat eksistensi hak atas kekayaan intelektual dalam konsep ekonomi Islam penulis menggunakan dasar hukum ‘urf atau adat sebagai suatu dalil hukum. Sebab fukaha menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu sumber hukum atau salah satu metode untuk menetapkan suatu hukum syarakjika di dalam nas, baik Alquran maupun Hadis tidak diketemukan. Dalam hal ini ada kaidah fikih yang menyatakan, العادة المحكمة (adat/kebiasaan dapat dijadikan hukum), المعروف عرفا كالمشروط شرطا(kebiasaan yang baik sama dengan sesuatu yang disyaratkan), الثابت بالعرف كالثابت بالناص(sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan sama saja dengan yang ditetapkan dengan nas).[19]
Teori ‘urf tersebut digunakan sebagai langkah alternatif dalam mempersempit ruang perbedaan pendapat, karena teori tersebut hanya mengakui adanya ketentuan yang berlaku dalam masyarakat secara luas dengan catatan tidak bertentangan dengan nas-nas Alquran maupun Hadis, yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat telah mengakui eksistensi hak atas kekayaan intelektual sebagai harta.[20]
Teori tersebut ada hubungannya dengan konstruksi hukum nasional tentang hak atas kekayaan intelektual, seperti perlindungan terhadap hak cipta yang dimiliki oleh seseorang, baik sebagai individu maupun kelompok. Di mana hak tersebut dapat dikatakan sebagai harta yang diatur dalam undang-undang yang berlaku secara yuridis-formal. Hal ini tampak jelas pada salah satu adanya bentuk perlindungan hak khusus bagi pengarang dan penerbit buku yang dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Demikian pula dengan hak penggunaan paten.[21]
Kebiasaan atau tradisi merupakan sesuatu yang berkembang dalam suatu masyarakat tertentu karena ia bersifat dinamis. Suatu hal atau materi pada masyarakat tertentu tidak dipandang sebagai harta, namun pada masyarakat lainnya hal sama bisa dipandang sebagai harta. Akan tetapi, dengan adanya hak ekonomi pada hak atas kekayaan intelektual, maka Islam mengakui bahwa usaha untuk memperoleh hak tersebut merupakan salah satu usaha yang halal untuk mendapatkan harta atau rezeki yang merupakan objek pemilikan, sehingga usaha tersebut benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan pribadi dan masyarakat umum serta negara.[22]
Salah satu hak khusus yang melekat pada seseorang yang dengan akal pikiran dan kreativitasnya menghasilkan suatu ciptaan atau kreasi adalah hak ekonomi (economic rights). Hak secara ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas suatu kekayaan intelektual. Sebab HAKI adalah benda yang dapat dinilai dengan uang. Hak ekonomi tersebut dapat berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena adanya penggunaan sendiri atau karena penggunaan pihak lain berdasarkan lisensi atau surat perjanjian yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Hak ekonomi itu harus diperhitungkan karena hak kekayaan intelektual dapat dipergunakan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan yang luar biasa banyaknya jika maksimal, sehingga hak atas kekayaan intelektual adalah objekatau bisa dikatakan modal dan bahkan sumber daya yang sangat potensial untuk menarik keuntungan.[23]
Keuntungan ekonomi tersebut merupakan kekayaan (hak milik) seseorang yang dapat mengakibatkan timbulnya kebebasan bagi pemiliknya untuk memetik manfaat, mengembangkan, memelihara, mengalihkan dan bahkan memusnahkannya. Pemilik tersebut dapat memanfaatkan sendiri haknya dan dapat pula mengalihkan pemanfaatannya pada pihak lain. Apabila pemanfaatannya dialihkan kepada pihak lain, maka menurut hukum pengalihan tersebut harus dilakukan dengan pemberian lisensi (izin tertulis), yang harus didaftarkan terlebih dahulu. Dalam lisensi tersebut harus ditentukan kewajiban pokok para pihak. Pemilik mengalihkan pemanfaatannya kepada penerima lisensi dengan menerima royalti, sedangkan pemegang lisensi membayar royalti dengan menerima keuntungan ekonomi dari hasil penggunaan hak atas kekayaan intelektual tersebut.
Selain HAKI sebagai objek perdagangan yang menghasilkan nilai ekonomi tinggi, hal tersebut dapat beralih ataupun dialihkan, yaitu dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, atau cara-cara lain yang diakui oleh undang-undang. Dengan demikian, pengakuan dan penumbuhan aturan terhadap HAKI dalam hukum Islam sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan terhadap HAKI. Karena sikap-sikap tersebut tidak hanya memberikan rasa aman tetapi juga akan mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat untuk menghasilkan karya-karya yang lebih besar, lebih baik, dan lebih banyak.[24]
-
Sanksi Hak Cipta dalam perspektif hukum Islam
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau haram. Halal dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.[25]
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada Surah al-Maidah, 5:38 yang artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa dan Maha bijaksana.”[26]
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw sendiri sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun saja yang terbukti melakukan pencurian, sebagai sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari).[27]
Ketegasan aturan mengnai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan Islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang. Bagaimanapun hak hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri secara individual, namun juga secara sosial dalam arti luas atau bahkan juga menciderai nilai itu juga termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangannya.[28]
Hukum potong tangan terhadap orang yang mencuri yang biasa di berlakukan di Negara-negara yang berasaskan Pancasila. Di Indonesia sendiri karena tidak berasaskan Islam maka jika terjadi pencurian hanyalah dikenakan aturan hukum positif yang berlaku yang bersumber dari KUHPidana.[29]
Hak cipta dalam pandangan Islam adalah hak kekayaan yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana perlindungan hukum terhadap harta milik seseorang.[30] Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara. Para pemiliknya bebas memperlakukan hak cipta itu sekehendak mereka. Tak seorangpun yang berhak melanggarnya, namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya-karya tulis itu ada yang melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari lembaga pengkajian fikih Islam yang lahir dari organisasi konferensi Islam pada pertengahan kelima di Kuwait tahun 1409 H, bertepatan dengan tahun 1988 M.[31] Islam melarang terhadap perbuatan pencurian yang dalam hal ini bisa dicontohkan seperti praktik pembajakan dan penggandaan karya tulis yang sering terjadi di Indonesia. Perbuatan itu jelas merupakan tindakan pidana menurut hukum Islam.[32]
BAB IV
Kesimpulan
-
Hak Cipta dalam pandangan Islam
Islam telah mengakui adanya hak cipta yang berkaitan dengan intellectual property. Untuk memperkuat eksistensi hak atas kekayaan intelektual ini maka digunakanlah dasar hukum ‘urf. Beberapa ulama sendiri telah menerangkan tentang eksistensi keberadaan HAKI salah satunya DR. Wahbah Zuhayli yang menyebut istilah HAKI dengan istilah haqqul Ibdā‘ atau haqqul Ibtikār.
-
Ketentuan sanksi pelanggaran dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan hukum Islam mengenai Hak Cipta
Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta sanksi bagi pelanggarannya adalah dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sedangkan sanksi pelanggaran hak cipta bagi hukum Islam adalah potong tangan seperti hadist Nabi yang artinya : “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari)
Daftar Pustaka
Al- Qur’an al- Karim, (Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2011)
al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2008)
Arief, Abd. Salam. Konsep Al-Mal Dalam Perspektif Hukum Islam: Studi Terhadap Ijtihad Fuqaha), Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Djakfar, Muhammad. Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundang Nasional dengan Syariah, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Margono, Amir dan Suyud. Angkasa Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Grasindo, 2002)
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009)
Musyafa’,M. Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Islam, Al- Iqtishad; Vol. V, No. 1, Januari 2013
Qaradhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Inssani Press, 1998)
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996)
Soelistyo, Henry. Plagiarisme pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2011)
Syafrinaldi. Sejarah Dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Al- Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Tanya- Jawab UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu dengan Jawabannya, Cet. 1 (Semarang: Dahara Prize, 203).
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Wazan, Amin. Pelanggaran Hak Cipta (Studi Komparatif Undang- Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta Dengan Hukum Islam), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Zuḥaylī, Wahbah. Al Muamalah Al Māliyah Al Mu’āṣiroh, (Dimsyaq: Dārul Fikr, 2008)
Evaluasi :
-Banyak narasi tidak baku.
-Pada kesimpulan dilarang mengutip pola pikir tokoh. Sdh harus dari pendapat penulis.
[1] Syafrinaldi, Sejarah Dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Al- Mawarid Edisi IX Tahun 2003, hlm. 6
[2] Amin Wazan, Pelanggaran Hak Cipta (Studi Komparatif Undang- Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta Dengan Hukum Islam), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hlm 3.
[3] Henry Soelistyo, Plagiarisme pelanggaran Hak Cipta dan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm 150.
[4] Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Lebih lanjut pada ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
[5] Tanya- Jawab UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu dengan Jawabannya, Cet. 1 (Semarang: Dahara Prize, 203), hlm. 30-31.
[6] Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal ayat (1 dan 2). Hlm 3-4
[7] Ibid. Hlm 19.
[8] Wahbah Zuḥaylī, Al Muamalah Al Māliyah Al Mu’āṣiroh, (Dimsyaq: Dārul Fikr, 2008), hlm. 580
[9] Abd. Salam Arief, Konsep Al-Mal Dalam Perspektif Hukum Islam: Studi Terhadap Ijtihad Fuqaha), Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003, hlm 54.
[10] Al- Qur’an al- Karim, (Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2011), hlm 84.
[11] Abd. Salam Arief, Konsep Al-Mal Dalam Perspektif Hukum Islam…., hlm 54.
[12] Ibid., hlm 55
[13] Yusuf Qaradhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Inssani Press, 1998), hlm. 90.
[14] M. Musyafa’, Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Islam, Al- Iqtishad; Vol. V, No. 1, Januari 2013, hlm. 46
[15] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 85.
[16] M. Musyafa’, Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Islam… , hlm. 46
[17] Ibid, hlm. 47.
[18] Ibid,
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid, hlm. 48
[23] Ibid.
[24] Suyud dan Amir Angkasa Margono, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 5.
[25] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 251-257.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid. Pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
[30] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, Malang: UIN Malang Press, 2009. Hlm. 257.
[31] Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2008), hlm. 315.
[32] Muhammad Djakfar. Opcit, hlm. 257