SYIRKAH

Standar

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Dalam bertansaksi kepada sesama manusia Islam memberikan kebebasan yang seluas- luasnya asalkan tidak mengandung sifat maysir, ghoror, dan riba. Untuk transaksinya sendiri Islam telah memiliki beberapa akad yang diperbolehkan untuk mengaplikasikannya, salah satu transaksinya adalah akad Syirkah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sendiri telah membahas tentang akad Syirkah pada buku ke dua tentang bab akad. Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Sehingga dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang akad syirkah guna untuk  memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Karena pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atau barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.

Pada makalah kali ini penulis akad membahas syirkah yang terdapat pada KHES, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam KHES mencakup syirkah  amwal,  syirkah  abdan, dan syirkah wujuh.

 

  1. Rumusan Masalah

Melihat dari latar belakang yang telah disampaikan diatas maka penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

  • Apa Pengertian syirkah?
  • Bagaimana hukum tentang syirkah?
  • Sebutkan syarat dan rukun Syirkah!
  • Sebutkan dan jelaskan macam- macam syirkah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah!
  • Bagaimana cara mengakhiri Syirkah?
  • Bagaimana Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern?

 

  1. Tujuan Penulisan

Pada makalah kali ini penulis bertujuan agar pembaca dapat mengetahui dan mengenal lebih :

  • Pengertian dari syirkah
  • Landasan hukum tentang syirkah
  • Syarat dan Rukun Syirkah
  • Macam- macam syirkah yang dibahas di Kompilasi hukum Ekonomi Syariah
  • Cara mengakhiri Syirkah?
  • Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyadun. Maksud pencampuran disini ialah seseprang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.

Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:

  1. Sayyid Sabiq,

Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.

  1. Muhammad al-Syarbini al-Khatib

Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).

  1. Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira

Penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.

  1. Idris Ahmad

Syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji dan akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

 

Setelah diketahui definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama.[1] Pengertian syirkah diatas hampir sama dengan pengertian syirkah di dalam KHES pada bab 2 tentang akad pasal 20 yaitu  Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.[2]

 

  1. Hukum Syirkah

Syirkah merupakan salah satu produk transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. Landasan hukum syirkah sendiri telah tertera di dalam Al-Quran, Al- Hadist, dan juga ijma’.

  • Dalil Al- Quran

Dalam Q.S. Shad ayat 24

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ ۗوَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَا ب

Artinya:

“Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”.[3]

 

 

 

 

 

  • Dalil Al- Hadist

حَدَّ ثَنَ مُحَمَّدُ بن سُلُيمان المَصِيْصِي عن مُحَمَّدالزَبْرِقانَ عن ا بي حَيَّانَ التيْمِ، عن ابيْهِ، عن ابي هُرَيْرَة َرَفَعَهُ قال : انَا ثَلاِث ُالشَريْكيْنِ مَا لمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإذ خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا[4]

Artinya : “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila seseorang menghianatinya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya)

  • Ijma’

Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[5]

 

  1. Syarat dan Rukun Syirkah

Rukun syirkah  diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah  ada dua, yaitu ijab  dan qabul  atau bahasa lainya adalah akad. Akad yang  menentukan  adanya  syirkah. Syarat-syarat  yang  berhubungan  dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut ini :

  1. Sesuatu yang  bertalian  dengan  semua  bentuk  syirkah  baik  dengan  harta maupun  dengan  yang    Dalam  hal  ini  terdapat  dua  syarat  yaitu  a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan  harus  jelas  dan  dapat  diketahui  dua  pihak,  misalnya  setengah, sepertiga dan yang lainnya.
  2. Sesuatu yang  bertalian  dengan  syirkah  mal  (harta).  Dalam  hal  ini  terdapat dua perkara yang harus dipenuhi a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah  adalah  dari  alat  pembayaran  (nuqud)  seperti  Riyal,  dan  Rupiah  b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad  syirkah  dilakukan baik jumlahnya sama maupun berbeda.
  3. Sesuatu yang  bertalian  dengan  syirkah  mufawadhah  bahwa  dalam mufawadhah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus  sama  b)  bagi  yang  bersyirkah  ahli  untuk  kafalah  c)  bagi  yang dijadikan objek akad disyaratkan  syirkah  umum, yakni pada semua macam jual beli atas perdagangan.
  4. Adapun syarat-syarat  yang  bertalian  dengan  syirkah  inan  sama  dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.

 

Menurut  ulama  mazhab  Malikiyah  syarat-syarat  bertalian  yang bertalian  dengan orang  yang  melakukan  akad  ialah  merdeka,  baligh  dan  pintar.  Syafi’iyah berpendapat bahwa  syirkah  yang sah hukumnya hanyalah  syirkah  inan  sedangkan syirkah yang lainnya batal.

Dijelaskan  pula  oleh  Abd  al-Rahman  al-Jaziri  bahwa  rukun  syirkah  adalah  dua orang  yang  berserikat,  subyek  dan  objek  akad  syirkah  baik  harta  maupun  kerja. Syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini :

  1. Mengeluarkan kata-kata  yang  menunjukkan  izin  masing-masing  anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
  2. Anggota serikat itu saling mempercayai sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
  3. Mencampurkan harta  sehingga  tidak  dapat  dibedakan  hak  masing-masing baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.[6]

 

  1. Macam- Macam Syirkah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Syirkah  secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu  syirkah  hak milik (syirkah al-amlak)  dan  syirkah  transaksi  (syirkah  al-uqud).  Syirkah  hak  milik  adalah syirkah  terhadap zat barang, seperti  syirkah  dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh  dua  orang  atau  yang  menjadi  pembelian  mereka  atau  hibah  bagi  mereka. Adapun  syirkah  transaksi  adalah  syirkah  yang  objeknya  adalah  pengembangan hak  milik. Syirkah  transaksi  bisa  diklasifikasikan  menjadi  lima  macam  yaitu ‘inan, ‘abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.[7]

Dalam KHES pasal 134 dan 135 menyebutkan bahwa syirkah dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah wujuh. Sedangkan Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah ‘inan, syirkah mufawwadhah, dan syirkah mudharabah.

Berikut ini merupakan penjelasan tentang syirkah- syirkah tersebut diatas :

  1. Syirkah ‘Inan

Syirkah  ’inân  adalah persekutuan modal antara dua  pihak  untuk menjalankan  usaha.  Apabila usahanya memperoleh keuntungan, maka akan dibagi  diantara  keduanya.  Dalam  hal  ini  tidak menyaratkan  adanya  kesamaan  modal, tasyarruf  dan  pembagian  keuntungan.  Modal salah  satu  pihak  boleh  lebih  besar  dari  pihak lainnya,  begitupula  dalam  hal  tanggung jawabnya.  Kebolehan kesamaan  pembagian keuntungan  seperti  halnya  kebolehan perbedaannya  berdasarkan  atas  kesepakatan diantara  mereka. Menurut  Zuhaily,  Syirkah ’inân  hukumnya  boleh  secara  ijma’.  Adapun perbedaanya  terdapat  pada  syarat-syaratnya sebagaimana pada penamaannya.[8]

  1. Syirkah Abdan

Syirkah  ‘abdan  disebut  juga  dengan  syirkah  a’mal  atau syirkah  sana’iSyirkah ‘abdan  adalah  syirkah  antara dua orang atau lebih dengan masing-masing pihak hanya menyerahkan kontribusi berupa tenaga atau keahlian tanpa investasi modal. Umumnya  syirkah  seperti  ini  terdapat  pada  pekerjaan  yang  membutuhkan keahlian  khusus  seperti  dokter  dan  konsultan.  Menurut  Imam  mazhab  Hanafi, Maliki dan Hanbali keahlian yang disertakan tidak harus sama dalam membentuk suatu syirkah.

  1. Syirkah Mudhorobah

Syirkah mudharabah disebut juga dengan qiradh. Syirkah ini terbentuk antara dua belah  pihak  dimana  pihak  pertama  menyerahkan keseluruhan  modal  (shahib  almal) dan pihak kedua  adalah orang  yang mengelola modal tersebut (mudharib). Dalam  syirkah  ini  keuntuntungan  akan  dibagi  sesuai  proporsi  yang  telah disepakati oleh dua belah pihak. Sedangankan kerugian dalam  syirkah  ini akan di tanggung oleh pemodal selama itu bukan kelalaian dari pengelola. [9]

  1. Syirkah Wujuh

Syirkah  wujûh  yaitu  pembelian  yang dilakukan  oleh  dua  orang  atau  lebih  tanpa menggunakan  modal  melainkan menggantungkan  pada kepercayaan  dan keahliannya dalam berdagang. Syirkah  antara mereka ialah untuk mencari keuntungan yaitu syirkah  melalui  kesepakatan  tanpa profesi maupun  harta. Menurut  Hanafiyah  dan Hanabilah  syirkah  wujûh  hukumnya  boleh karena  mengerjakan  suatu  pekerjaan  boleh hukumnya.  Masing-masing  yang  terikat perjanjian  boleh  berbeda kepemilikan terhadap sesuatu yang ditransaksikan.  Adapun apabila  memperoleh  kuntungan,  maka  akan dibagi  diantara  keduanya  sesuai porsi (konstribusi)  masing-masing  dalam kepemilikan. Namun Syafi‟iyah danMalikiyah  membatalkannya,  karena  suatu syirkah sesungguhnya terkait dengan harta dan pekerjaan. Ibnu  Rusy  dalam  kitab Bidâyah Al-Mustahid:  Nihâyah  al-Muqtashid menyatakan bahwa  syirkah  wujûh  merupakan bentuk  jaminan  kepada  pelaku  usaha  yang tidak  memiliki modal.  Kemudian ia mengutip Imam  Malik  dan  Syafi‟I  yang  menyatakan bahwa  syirkah  harus terkait dengan harta dan pekerjaan. Tanpa adanya kedua unsur tersebut dalam  masalah  syirkah  dapat  menimbulkan gharâr.   Dikatakan  demikian  karena  masingmasing  pihak  saling  bertukar  pekerjaan  tanpa adanya  pembatasan  profesi  dan  kekhususan pekerjaan.[10]

  1. Syirkah Mufawadhoh

Syirkah mufawadhah adalah antara dua syirkah atau pengabungan antara beberapa syirkah  sekaligus.  Misalnya  seseorang  memberikan  modal  untuk  dua  orang insiyur dengan tujuan membangun rumah untuk di jual. Kedua orang insyur akan bekerja sekaligus akan mendapatkan rumah sebagai keuntungan seperti yang telah disepakati  di  awal.  Dalam  hal  ini  terdapat  pengabungan  antara  syirkah ‘inan,

‘abdan, mudharabah dan wujuh.[11]

 

  1. Cara Mengakhiri Syirkah

Menurut  Ahmad  Azhar  Basyir  terdapat  enam  penyebab  utama  berakhirnya syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu :

  • Syirkah akan  berakhir  apabila  terjadi  hal-hal  dimana  jika salah  satu  pihak  membatalkannya  meskipun  tanpa  persetujuan  pihak  yang lainnya. Hal ini disebabkan  syirkah  adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama  rela  dari  kedua  belah  pihak  yang  tidak  ada  kemestian  untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi.
  • Salah satu  pihak  kehilangan  kecakapan  untuk  bertasharruf  (keahlian mengelola harta) baik karena gila ataupun karena alasan lainnya.
  • Salah satu pihak meninggal dunia. Tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua  orang  yang  batal  hanyalah  yang  meninggal    Syirkah  berjalan  terus pada  anggota-anggota  yang  masih  hidup.  Apabila  ahli  waris  anggota  yang meninggal  menghendaki  turut  serta  dalam  syirkah  tersebut  maka  dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
  • Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan. Pengampuan yang dimaksud di sini baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah  tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
  • Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
  • Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama  Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi yang menanggung resiko adalah para pemilikya sendiri.  Apabila  harta  lenyap  setelah  terjadi  percampuran  yang  tidak  bisa dipisah-pisahkan lagi menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan menjadi  resiko bersama. Apabila  masih ada sisa harta  Syirkahmasih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[12]

 

  1. Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern

Syirkah  merupakan  praktik  muamalah masa  jahiliyah  yang  diadopsi  ke  dalam  Islam. Dalam  fiqh  Islam,  hukum  asal  dari  syirkah adalah  boleh. Landasan  syariat    kebolehan syirkah  terdapat  dalam  kitab  al-Qur‟an,  as Sunnah  dan  ijma’. Kebolehan  syirkah  dapat dikembangkan  ke  dalam  berbagai bentuk berdasarkan  ijtihad  sebagaimana  dicontohkan oleh  para  fuqaha.  Setelah  merujuk  para  nashnash  syara’, pendapat  para  fuqaha  dapat dijadikan  referensi  untuk  pengembangan konsep  syirkah  dan  implementasinya  dalam konteks modern.

Untuk  mengimplentasikan  bentuk-bentuk syirkah  diperlukan  langkah-langkah  tertentu, yaitu  pertama, pastikan apakah masing-masing peserta persekutuan  turut  menjalankan perusahaan  atau  tidak.  Apabila  mereka keseluruhan  turut  menjalankan  perusahaan secara  langsung,  maka  akad  yang  digunakan adalah  musyârakah.  Jika  akad  musyârakah (syirkah)  yang digunakan  untuk  mendirikan perusahaan,  maka  kemungkinan  modal  yang disertakan  masing-masing  pihak  dapat berwujud:  (a)  Apabila  modal  yang  disertakan masing-masing  pihak   berupa  uang  yang jumlahnya sama (Rp. X dan Rp. X) maka akad yang  digunakan  syirkah  mufawadhah;  (b) Apabila modal yang disertakan masing-masing pihak  berupa  uang  dengan  jumlah  yang berbeda  (Rp.  X  dan  Rp.  Y),  maka  akad  yang digunakan  syirkah  ’inan;  (c)  Apabila  modal yang  disertakan  masing-masing  pihak  berupa pekerjaan  (al-a’mal),  maka  akad  yang digunakan  syirkah  ’abdan;  (d)  Apabila masing-masing pihak menjalankan usaha tanpa modal  melainkan  sebatas  reputasi/ kepercayaan,  maka  akad  yang  digunakan adakah syirkah wujuh.

Kedua,  apabila  yang  menjalankan perusahaan  hanya  pihak  yang  menyertakan tenaga  (mudhârib),  sedangkan  pihak  yang menyertakan modal harta (shâhib al-mâl) tidak ikut  serta  dalam  menjalankan  perusahaan, maka  akad  yang  digunakan  adalah mudhârabah.  Dalam  hal  ini  perlu  dipahami, bahwa  meskipun   mudhârib  hanya menyertakan tenaga, namun kedudukan mereka tetap  sebagai  pemilik  perusahaan.  Dikatakan demikian,  karena  mudhârib  mendapatkan keuntungan  bukan  dari  upah  mengupah (‘ujrah), melainkan dari bagi hasil persekutuan. Sedangkan  pemberian  upah  (gaji),  hanya berlaku  bagi  pekerja  (karyawan)  yang mengikatkan  diri  dengan  perusahaan  melalui akad ijârah.

Untuk  membentuk  perusahaan persekutuan  berskala  kecil,  masing-masing syirkah  biasanya  digunakan  sendiri-sendiri secara  terpisah.  Sedangkan  untuk  mendirikan perusahaan  persekutuan  berskala  besar  yang membutuhkan  adanya  hubungan  perikatan hingga  pada  tingkat  kerumitan  tertentu,  maka masing-masing  syirkah  tersebut  boleh dipadukan  satu  dengan  yang  lainnya.  Karena dalam  setiap  syirkah  yang  sah  ketika  berdiri sendiri,  maka  sah  pula  ketika  digabungkan dengan  jenis  syirkah  lainnya. Bahkan  untuk menjalin hubungan perikatan antara perusahaan dengan  pihak  karyawan  (pekerja), dibolehkan menggunakan  akad  lain  di  luar  syirkah  itu sendiri.  Misalnya  setelah  para  pengusaha sepakat  membentuk  perusahaan  persekutuan, mereka  dibolehkan  untuk  mengangkat karyawan  sebagai  pekerja.  Dalam pengangkatan    karyawan, akad yang digunakan oleh  perusahaan  bukan  lagi  syirkah  dengan sistem  bagi  hasil,  melainkan  ijarâh  dengan sistem  gaji  (’ujrah).  Namun  perlu  diketahui, bahwa  antara  pemilik  perusahaan  yang  satu dengan  pemilik  perusahaan  yang  lainnuya, secara  hukum  tetap  dibolehkan  melakukan persekutuan (syirkah).[13]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan
  2. Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Sedangkan menurut KHES adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.
  3. Syirkah merupakan salah satu produk transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. dalil tentang syirkah terdapat dalam Dalam Q.S. Shad ayat 24 yang artinya “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan terdapat pula dalil dari hadist yang artinya : “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila seseorang menghianatinya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya)
  4. Rukun syirkah ada dua, yaitu ijab  dan qabul. Sedangkan syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini :
  5. Mengeluarkan kata-kata  yang  menunjukkan  izin  masing-masing  anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
  6. Anggota serikat itu saling mempercayai sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
  7. Mencampurkan harta  sehingga  tidak  dapat  dibedakan  hak  masing-masing baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
  8. Syirkah secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu  syirkah  hak milik (syirkah al-amlak)  dan  syirkah  transaksi  (syirkah  al-uqud). Syirkah  transaksi  bisa  diklasifikasikan  menjadi  lima  macam  yaitu ‘inan, ‘abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
  9. Terdapat enam  penyebab  utama  berakhirnya syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu :
  10. Syirkah akan  berakhir  apabila  terjadi  hal-hal  dimana  jika salah  satu  pihak  membatalkannya  meskipun  tanpa  persetujuan  pihak  yang lainnya.
  11. Salah satu  pihak  kehilangan  kecakapan  untuk  bertasharruf  (keahlian mengelola harta)
  12. Salah satu pihak meninggal dunia
  13. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan
  14. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
  15. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama
  16. Untuk mengimplentasikan  bentuk-bentuk syirkah  diperlukan  langkah-langkah  tertentu, yaitu  pertama, pastikan apakah masing-masing peserta persekutuan  turut  menjalankan perusahaan  atau  tidak, Kedua,  apabila  yang  menjalankan perusahaan  hanya  pihak  yang  menyertakan tenaga  (mudhârib),  sedangkan  pihak  yang menyertakan modal harta (shâhib al-mâl) tidak ikut  serta  dalam  menjalankan  perusahaan, maka  akad  yang  digunakan  adalah mudhârabah.

 

  1. Saran

Diharapkan kepada pembaca setelah membaca dan memahami makalah ini agar dapat mengamalkan ilmu yang didapat di makalah ini dan dapat mengamalkan produk syirkah yang berkonsep Islam ini di kalangan masyarakat dibandingkan memakai produk kerjasama Non Islami yang mengandung unsur riba, ghoror, dan maysir.

Selanjutnya karena penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari salah dan khilaf maka penulis masih sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman yang berpartisipasi dalam membaca makalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

الأزدي، سليمان بن الأشعت السجستاني، سنن أبي داود، المكتبة العصرية.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Semarang: Toha Putera, 1989;

Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan pertama.                    Jakarta, 2003.

Susamto, Burhanuddin, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah tentang Bentuk Syirkah            dan Aplikasinya dalam Perseroan Modern, De Jure, Jurnal Syariah Dan                     Hukum, Volume 6 No 1, Juni 2014.

Setiawan, Deni, kerja sama (syirkah) dalam ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi,                      Volume 21, No 3 September 2013.

Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010.

Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

 

 

 

[1] Hendi Suhendi H, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125

[2] Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan pertama. Jakarta, 2003, hlm 10

[3] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Semarang: Toha Putera, 1989;

[4] الأزدي، سليمان بن الأشعت السجستاني، سنن أبي داود، المكتبة العصرية، ص 256

[5] H. Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185

[6] Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi, Volume 21, No 3 September 2013, Hlm. 4

[7]Ibid, Hlm 5

[8] Burhanuddin Susamto, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah tentang Bentuk Syirkah dan Aplikasinya dalam Perseroan Modern, De Jure, Jurnal Syariah Dan Hukum, Volume 6 No 1, Juni 2014, Hlm 16

[9] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 5

[10] Opcit, Burhanuddin Susamto, Pendapat Al- Mazahib Al- Arba’ah…Hlm 16

[11] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 6

[12] Opcit,  Deni Setiawan, kerja sama (syirkah) dalam….Hlm 7

[13]Opcit, Burhanuddin Susanto, Pendapat Al- Mazhahib Al- Arba’ah……Hlm 18

Tinggalkan komentar